Setiap anak pasti ingin diterima dan disayangi oleh teman-temannya. Namun, bagi Jhulenti, anak berusia 11 tahun, kenyataan itu dulu terasa jauh dari harapan. Meski dikenal ceria dan murah senyum, ia sering disakiti dengan ejekan yang menyakitkan.
Di sekolah, teman-temannya memanggilnya “Amis!” atau “Si bau amis.” Mereka menuduh Jhulenti suka mengompol, padahal itu tidak pernah terjadi. Ejekan itu membuatnya malu, sedih, bahkan kehilangan semangat bermain. Ia sempat melapor kepada guru, namun karena pelakunya adalah anak kepala desa, masalah itu dianggap sekadar candaan. Situasi tersebut membuat Jhulenti merasa tidak punya tempat untuk membela diri.
Semua berubah ketika Jhulenti mengikuti kelas di School of Life. Dalam pelajaran bertema “Self-Awareness,” ia memberanikan diri untuk berbagi pengalaman pahitnya. Di sana, ia tidak lagi dianggap berlebihan. Justru para tutor mendengarkan dengan penuh perhatian dan menuntunnya agar belajar mengampuni.
“Guru saya bilang, Tuhan mengajarkan kita untuk mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali. Itu berarti tanpa batas,” cerita Jhulenti. Kata-kata sederhana itu menuntunnya menemukan jalan keluar dari rasa sakit yang selama ini ia simpan.
Sejak belajar mengampuni, Jhulenti merasa lebih tenang. Ia tidak lagi menanggapi ejekan dengan air mata. Bahkan, ketika melihat temannya dibully, ia berani menegur pelaku. Meski tegurannya tidak dihiraukan, Jhulenti merasa bangga karena sudah berdiri membela orang lain.
Kini, lingkungan School of Life telah menjadi rumah kedua baginya. Ia memiliki banyak teman yang saling mendukung dan tidak saling merendahkan. Jhulenti belajar bahwa harga diri tidak ditentukan oleh kata-kata orang lain, melainkan oleh kasih Tuhan yang menguatkannya.
Dari anak yang dulu sering murung, kini Jhulenti tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan percaya diri. Senyum cerianya kembali—kali ini bukan untuk menutupi luka, tetapi sebagai tanda kemenangan atas masa lalunya.
© Copyright 2024
Obor Berkat